Menggemanya Orasi di Tengah Kobaran Api
Kamis, 1 Mei 2025 07:46 WIB
Kisah inspirasi dari pahlawan yang mempertahankan kemerdekaan. Dari suara menjadi lawan yang kuat. Membangkitkan semangat.
***
Surabaya, November 1945, bukan sekadar sebuah kota — ia telah berubah menjadi arena pertempuran yang penuh darah. Asap hitam mengepul dari bangunan yang terbakar, sementara di jalan-jalan sempit, reruntuhan rumah bercampur serpihan kaca dan logam. Bau mesiu menyengat, berpadu dengan aroma tanah basah yang diinjak oleh ribuan kaki bersenjata seadanya.
Warga Surabaya, dari pemuda hingga orang tua, menggenggam senjata apa pun yang mereka miliki — bambu runcing, golok, bahkan batu. Mereka menyadari bahwa lawan yang akan datang bukanlah sembarangan: pasukan Inggris dan Belanda, dilengkapi dengan persenjataan modern, mengancam dengan ultimatum dari pengeras suara.
Namun, ketakutan tidak membuat mereka mundur. Di balik wajah-wajah lelah dan pakaian compang-camping, terdapat tekad yang membara: lebih baik mati daripada dijajah kembali. Kota itu bagaikan bara hidup — kecil, tetapi siap meledak kapan saja.
Di tengah kepanikan, suara Bung Tomo memecah keheningan melalui radio. Suaranya yang keras dan lantang membawa sesuatu yang lebih tajam daripada peluru: harapan. Setiap kata dari Bung Tomo membuat rakyat Surabaya menggenggam senjata mereka lebih erat, seolah rasa takut mereka sirna.
Hari itu, Surabaya memilih untuk bertahan — dengan tubuh yang lelah, alat seadanya, tetapi dengan semangat yang tak akan pernah menyerah.
Pertempuran 10 November 1945 bukan hanya sekadar perang fisik; ia adalah pernyataan tegas dari sebuah bangsa muda yang menolak untuk dijajah lagi. Surabaya menjadi saksi ketika rakyat biasa — buruh, petani, pelajar, ulama — bersatu dalam satu suara: merdeka atau mati.
Asap membumbung tinggi, peluru beterbangan di udara, dan jeritan kesakitan mengiringi langkah-langkah kecil menuju medan tempur. Ribuan nyawa melayang. Jalanan Surabaya berubah menjadi lautan darah. Namun di balik semua kehancuran itu, lahir satu makna yang tak pernah padam: Indonesia, meski masih rapuh, tidak akan tunduk pada kekuatan manapun.
Dunia tercengang melihat keteguhan itu. Sebuah bangsa yang baru saja memproklamasikan kemerdekaannya berani menantang kekuatan militer modern dengan persenjataan seadanya.
Di tengah semua itu, ada sosok yang tidak mengangkat senjata, tetapi justru mengangkat sesuatu yang jauh lebih kuat: semangat. Bung Tomo, melalui orasinya, menjadi bahan bakar yang menghidupkan perlawanan. Ia menunjukkan bahwa dalam perang mempertahankan harga diri, suara yang benar bisa menjadi lebih tajam daripada pedang.
Perang 10 November adalah bukti bahwa kemerdekaan bukanlah hadiah — ia adalah darah, air mata, dan suara-suara perlawanan yang tak pernah menyerah.
"Selama banteng - banteng Indonesia masih mempunyai darah merah yang dapat membasahi secarik kain putih, maka selama itu kita tidak akan menyerah kepada siapapun juga!"
Orasi itu bukan sekadar kata-kata. Ia membakar semangat yang sempat redup. Ia membuat bambu runcing terasa sekuat meriam. Ia mengubah rakyat biasa menjadi pejuang sejati.
Di tengah kota yang hampir hancur, semangat itu menyala. Surabaya, yang mungkin terlihat kalah di mata dunia, justru sedang mengukir namanya dalam sejarah. Semuanya dimulai dari satu hal: suara Bung Tomo yang mengajarkan bahwa kemerdekaan hanya milik mereka yang berani mempertahankannya, berapapun harganya.
Bung Tomo bukanlah tentara, panglima, atau gubernur.
Ia adalah sosok yang dengan satu suaranya, keberanian menjadi ada.
Rakyat memilihnya bukan karena pangkat atau jabatan, tetapi karena keberaniannya menghidupkan harapan saat semua terasa gelap. Bung Tomo menjadi simbol moral perjuangan: suara hatinya menjadi suara ribuan rakyat yang menolak menyerah.
Ia membuktikan bahwa dalam perang mempertahankan kemerdekaan, kemenangan bukan hanya milik mereka yang memegang senjata. Kadang, keberanian yang lahir dari keyakinan yang tak tergoyahkan jauh lebih dahsyat daripada kekuatan meriam.
Bung Tomo mengajarkan kita bahwa perang sejati adalah perang melawan rasa takut di dalam diri.
Pertempuran Surabaya yang dipicu oleh semangat luar biasa ini kemudian dikenang sebagai salah satu peristiwa heroik terbesar dalam sejarah Indonesia. Tanggal 10 November ditetapkan sebagai Hari Pahlawan untuk menghormati keberanian para pejuang yang bertempur.

Ibnu Kamil
1 Pengikut

Menggemanya Orasi di Tengah Kobaran Api
Kamis, 1 Mei 2025 07:46 WIBArtikel Terpopuler